Kamis, 02 Desember 2010

Subak, Tetap Bertahan di Arus Glo-BALI-sasi

Essay Photo
Buletin Khlorofil Edisi ke-3 Bulan Agustus 2010



Teks dan Foto :
Dewa Made Putra Wiratama


Apa jadinya bila masyarakat Bali meninggalkan pertanian? Bali akan hancur. Pertanian adalah roh dan jiwa dari aktivitas kehidupan dan kebudayaan itu sendiri.

Saat ini sektor pertanian cenderung diposisikan sebagai sektor tak ekonomis, sehingga banyak yang melakukan pilihan pragmatis dan pertanian ditinggalkan.

Masih bertahan
Subak merupakan sistem irigasi khas Bali, dimana keberadaannya sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Hal tersebut menyiratkan subak merupakan lembaga yang tangguh dan lestari yang berlandaskan konsep Tri Hita Karana (THK) dimana THK memiliki nilai-nilai luhur antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan manusia, walaupun saat ini eksistensinya terancam oleh derasnya arus globalisasi yang diikuti dengan perubahan berbagai segi kehidupan masyarakat Bali.

Air
Padahal, salah satu kekuatan Bali di masa lalu adalah masyarakat dan alamnya yang dikelola secara berkelanjutan. Terutama dengan sistem pertanian subaknya yang terkenal. Subak tak bisa lepas dari adanya air. Saat ini, sungai-sungai di Bali debit airnya banyak yang berkurang bahkan ada beberapa yang telah kehilangan fungsinya sebagai mana mestinya. Tentunya yang paling merasakan kurangnya pasokan air ini adalah petani. Akibatnya banyak subak kekurangan air dan bahkan ratusan subak sama sekali tak berfungsi karena tak lagi dialiri air.

Ada yang memihak
Tantangan mendasar subak saat ini adalah alih fungsi lahan, irigasi teknis yang terputus-putus, kebijakan harga tak seimbang antara biaya pengolahan dan harga produksi, dan tidak adanya kebijakan untuk mendorong generasi muda untuk bertani. Petani Bali tak akan bangkit jika tak ada kebijakan yang “memihak” mereka untuk mengatasi masalahnya.

Tingkatkan eksistensi
Seharusnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bisa “melindungi” subak sebagai warisan budaya Bali. Pemerintah dapat menerbitkan Undang-undang yang mengatur mengenai kepemilikan lahan, sehingga tidak ada lagi istilah “jual sawah untuk beton”. Memang kita tidak bisa melarang mereka menjual tanah karena itu hak mereka, tetapi sebaiknya kita menjual lahan pertanian untuk pertanian juga. Berbagai upaya perlu dilakukan untuk melestarikan dan mempertahankan eksistensi subak sebagai warisan budaya Bali. Sebab, jika subak yang dipandang sebagai salah satu penopang kebudayaan Bali sampai “hancur” maka kelestarian kebudayaan Bali bisa terancam. Hal-hal seperti itu akan terus menghantui kelestarian subak kedepannya, sampai benar-benar ada kebijakan yang nyata dari pemerintah untuk kelestarian subak itu sendiri.


*) Mahasiswa Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian UNUD

1 komentar: